Buzzer vs Media Mainstream, Siapa Lebih Menguasai Opini Publik
Jurnalbengkulu.com - Baru saja saya membaca utuh laporan penelitian Oxford yang berjudul The Global Disinformation Order 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation yang membahas tentang buzzer di media sosial.
Buzzer pada pengertian yang sederhana adalah sekelompok orang yang mempromosikan, mengampanyekan, atau mendukung sesuatu, baik itu berupa produk barang maupun jasa melalui akun media sosialnya. Sumbernya pun bermacam-macam, mulai dari ekonomi, sosial, budaya, hingga politik.
Awalnya buzzer ini bekerja untuk promosi barang atau produk sebagai alternatif lain dalam metode kampanye produk di media mainstream di televisi, koran, hingga radio.
Jika sebelumnya promosi itu dari atas ke bawah (top-down), kini metode promosi dari bawah ke atas (bottom-up). Singkatnya, buzzer bekerja linear dengan perkembangan teknologi dan komunikasi internet yang menumbuh-suburkan media sosial, baik Twitter, Facebook, Instagram, hingga WhatsApp dengan format testimoni pengguna barang atau jasa.
Di politik, penggunaan buzzer menjadi hal yang jamak terjadi, sejak era media sosial Twitter sangat populer tahun 2011. Berkaitan dengan proses elektoral jelang masa kampanye Pilkada Jakarta 2012. utamanya untuk promosi citra, visi-misi, progam kandidat, sampai menyerang lawan politik dengan kampanye negatif (negative campaign) atau kampanye hitam (black campaign).
Tapi saya tidak ingin jauh membahas sampai ke situ, tapi mengalisis sejauh mana data yang di keluarkan Oxford sebagai fondasi media-media konvensional dalam menafsirkan dan memublikasikan hasil riset tersebut.
Publikasi penelitian Oxford tersebut jumlahnya 26 halaman dan tidak spesipik membahas tentang Indonesia. Pada catatan saya, nama Indonesia tersebut 23 kali dengan rincian 12 kali di narasi dan 11 kali di dalam tabel. Itu pun setiap ada penyebutan nama Indonesia selalu disertai nama-nama negara lain.
Jika kita membaca summary atau ringkasannya, secara jelas penelitian ini subjek utamanya adalah Rusia dan Cina. Lebih jauh, di Indonesia hanyalah satu bagian kecil dari puluhan negara yang menggunakan buzzer, baik itu yang digerakkan pemerintah, partai politik, atau lembaga lain.
Pada halaman 20 penelitian tersebut, Indonesia dikategorikan dalam Low Capacity Cybertroop karena sifatnya tidak permanen atau musiman. Artinya, penggunaan buzzer di Indonesia masih pada tahap kelas pemula, tidak seperti framing media yang kita baca hari-hari ini yang seolah-olah buzzer di Indonesia sudah level tinggi.
Masih pada halaman yang sama, disebutkan bahwa bayaran buzzer di Indonesia berada di angka 1 juta sampai 50 juta. Pada bagian ini, tentu ada kelemahan data, utamanya tidak dijelaskan spesifik secara vertikal dan struktural tentang besaran angka bayaran yang didapatkan kordinator, subkordinator, hingga anggota yang bertugas menaikkan atau melawan isu yang berkembang.
Artinya, penelitian Oxford yang dikapitalisasi berlebihan oleh media sebagai rujukan media-media konvensional masih sangat lemah. Karena, data mengenai fenomena di Indonesia sangat lemah pula dan tidak sebesar pemberitaan bombastis yang dirilis selama ini.
Saya mau katakan, bukannya saya menafikan fenomena buzzer di Indonesia, tapi cara media memberitakan penelitian Oxford ini sangat lebay karena seolah-olah riset ini terspesifik untuk Indonesia. Pun Indonesia hanyalah satu bagian kecil dalam hasil riset tersebut.
Artinya, kalau mau lebih spesifik lagi, menurut pendapat saya, sebaiknya dilakukan penelitian yang fokus pada fenomena buzzer di Indonesia saja. Supaya lebih detail dan lebih valid. Pun masyarakat lebih antusias lagi membaca risetnya.
Lalu mengapa buzzer kini berbenturan dengan media mainstream?
Media-media konvensional (media cetak) kini menghadapi persoalan berkaitan dengan digitalisasi. Hampir semua media konvensional pun kini telah menggunakan web online untuk beritanya.
Secara bisnis, agar tetap bertahan, media-media online ini mendaftarkan diri ke Google AdSense, di mana Google Asense adalah penyedia cara bagi pemilik situs web untuk mendapatkan uang dari konten online mereka.
Memanfaatkan algoritme, Adsense bekerja menyesuaikan iklan teks dan bergambar untuk dilihat pengunjung web berita. Iklan tersebut dibuat dan dibayar oleh perusahaan/individu/kelompok yang mempromosikan produk mereka.
Artinya, jumlah pengunjung web melalui klik berita sangat berpengaruh terhadap penghasilan media online.Media-media online secara otomatis harus pula membuat judul berita yang bombastis agar mendapatkan pembaca yang banyak dan clickbait yang tinggi pula. Bahkan, tak jarang pembaca kerap terjebak oleh pemberitaan karena ketidaksesuaian judul berita namun substansi yang biasa-biasa saja.
Harusnya, jika begitu metode kerjanya, buzzer dan media mainstream bisa saling linear dalam bekerja. Bila ada persamaan isu yang ingin share (dibagikan).
Namun, faktanya di lapangan, baik pemiliki pasukan buzzer (pemodal) dan media mainstream berbenturan karena perbedaan kepentingan masing-masing dalam sebuah isu yang akan di-framing dalam pemberitaan.Persoalannya sekarang adalah siapa yang biasa menguasai informasi dan opini publik? Buzzer bekerja menggiring opini yang dibuat oleh opinion maker (pembuat opini) sementara media fokus pada framing pemberitaan yang berasal dari rapat meja redaksi.
Buzzer vs Tempo
Beberapa waktu lalu, buzzer pendukung pemerintah mengamuk pada salah satu media konvensional, yaitu Tempo. Karena covernya merilis gambar Jokowi dan Siluet Pinokio. Buzzer pendukung pemerintah marah dan mengamuk pada Tempo.
Kampanye terhadap uninstall aplikasi Tempo pun terus disuarakan mengakibatkan rating aplikasi Tempo turun dari angka 4 (baik) menjadi 1 (sangat buruk). Bahkan, situasi itu membuat aplikasi Tempo sempat hilang dari play store download aplikasi di android.
Media Tempo tidak tinggal diam dengan melorotnya rating mereka dan ketidakstabilan saham medianya di bursa saham.
Media Tempo melakukan serangan balik, framing pemberitaan, kini banyak menyerang buzzer pendukung pemerintah, yang membuat istana sampai bersuara yang secara verbatim mengatakan bahwa buzzer tidak diperlukan lagi, yang secara otomatis kini buzzer terancam kehilangan pekerjaan.
Publikasi riset Oxford, pada september 2019 lalu, menjadi bahan pendukung media-media mainstream lain seolah ikut pula "bersolidaritas" dalam framing dampak buruk buzzer bagi citra pemerintah. Tidak sampai di sini, kini buzzer mulai mencari dukungan dari netizen untuk menghadapi serangan terhadap mereka.
Bagaimana akhir pertarungan buzzer vs media mainstream ini ? Siapa yang mampu menguasai opini publik, dialah pemenangnya.(Anwar saragih ; Dosen)
https://www.qureta.com/next/post/buzzer-vs-media-mainstream