Dema UIN Mahmud Yunus Batusangkar: Program Koperasi Desa Merah Putih, Program Populis Presiden Prabowo Subianto
Oleh: Polkastrat Dema UIN Mahmud Yunus Batusangkar
Presiden Prabowo Subianto mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2025 tentang percepatan pembentukan koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih. Koperasi bukanlah hal yang baru kita dengar. Semenjak sekolah dasar kita telah mempelajari koperasi, prinsip-prinsip koperasi, dan lain-lainnya. Cuman yang membedakan sekarang adalah penambahan kata merah putih saja.
Presiden menargetkan 80 ribu percepatan pembentukan koperasi merah putih. Pembentukan koperasi merah putih ini sebagai upaya pemerintah dalam mendorong kemandirian bangsa melalui swasembada pangan berkelanjutan dan pembangunan dari desa untuk pemerataan ekonomi menuju Indonesia emas 2045.
Ada enam instruksi Presiden salah satunya koperasi desa merah putih melaksanakan kegiatan pengadaan sembilan bahan pokok (sembako), simpan pinjam, klinik, apotek, cold storage/pergudangan, dan logistik dengan memperhatikan karakteristik, potensi, dan lembaga ekonomi yang telah ada di desa/kelurahan.
Pembentukan satu unit koperasi merah putih membutuhkan Rp 3-5 miliar. Sumber pendanaan dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).
Menteri Koperasi Budi Arie mengatakan dengan dibukanya kopdes merah putih dapat menciptakan 1-2 juta lapangan pekerjaan baru. Modal awal masing-masing kopdes merah putih adalah Rp 3 miliar dalam bentuk pinjaman. Pinjaman ini melalui kredit oleh himpunan bank milik negara (HIMBARA).
Kebijakan Presiden tentang kopdes merah putih tidak terlepas dari kritikan. Alta Zaini, Ketua Umum Non Litigation Peacemaker Association (Juru Damai Indonesia) mengatakan pembentukan kopdes merah putih dan alokasi dana untuk ketahanan pangan terlalu terburu-buru dan mengabaikan karakteristik lokal. Kemudian dia menambahkan bumdes dalam kondisi tidak baik-baik saja. Masih banyak bumdes yang belum berjalan baik di aceh dan daerah lain. Selain itu, permendes tentang dana desa belum terimplementasi dengan baik, namun muncul lagi instruksi yang baru. Desa bukan proyek eksperimen, perlu adanya data, partisipatif, dan menghargai kearifan lokal.
Suroto selaku Ketua Asosiasi Kader Sosio Ekonomi (AKSES) mengatakan kopdes merah putih berpotensi menjadi ajang bagi makelar proyek meraup untung. Kemudian orang-orang yang menjalankan koperasi tidak paham itu koperasi. Suroto juga mengatakan keberadaan koperasi hanya sebagai kendaraan oleh makelar proyek lewat kegiatan sosialisasi dan bimbingan teknis, tidak pada pemberdayaan ekonomi masyarakat desa (Jelita, 2025).
Kalangan akademisi juga ikut mengkritik kebijakan kopdes merah putih. Guru Besar Universitas Airlangga Rahma Gafmi mengatakan pembentukan kopdes merah putih antara nafsu dan kemampuan belum seimbang. Kemudian pemerintah daerah masih bergantung kepada dana pusat. Dia juga menjelaskan berbagai tantangan dan resiko pembentukan kopdes merah putih. Yang pertama, pembentukan kopdes merah putih tidak seimbang dengan kemampuan APBN yang akan menyebabkan program gagal dan moral hazard. Yang kedua, kurangnya infrastruktur, sumber daya manusia yang belum mumpuni, dan perekrutan pengurus yang kemungkinan tidak meritokrasi (Gafmi, 2025).
Kopdes merah putih dinilai kebijakan populis yang dibuat oleh Presiden, hal ini senada dengan pendapat Guru Besar Universitas Airlangga, dia mengatakan APBN defisit Rp 104,2 triliun. Sehingga tidak mampu membiayai program populis pemerintah dan kegiatan lainnya.
Dalam konteks Sumatera Barat ada 862 unit pada 2019, tetapi yang berkembang hanya 289 unit. Sebagian yang lain belum mampu mengelola potensi yang ada (Elfisha dalam Yuliarti, 2023). Permasalahan utama bumdes/bumnag adalah belum memiliki aktivitas yang mampu menghasilkan secara ekonomi, dan adapun bumnag yang telah berdiri belum mampu mengelola dan aktivitas usaha yang masih lemah.
Permasalahan selanjutnya adalah pemahaman laporan keuangan yang kurang dari pengurus bumnag. Masih banyak bumnag melakukan cara hitung manual di dalam laporan keuangan. Bumnag memiliki kewajiban transparansi keuangan yang jelas sebagai bentuk pertanggungjawaban, agar mendapatkan kepercayaan dari pihak internal dan eksternal. Penyusunan laporan keuangan bumnag belum sesuai standar akuntansi keuangan yang berlaku.
Kasus korupsi juga terjadi di tingkat desa. Bumdes rentan dengan aksi curang dan manipulasi laporan keuangan. Pada tahun 2022, terjadi kasus korupsi di tingkat desa dengan jumlah tersangka 252 tersangka yang menyebabkan kerugian negara. Contoh kasus korupsi yang terjadi pada tahun 2023 di bumdes karangasem bali yang melibatkan bendahara bumdes dan dilaporkan ke kepolisian setempat. Terbaru 23 April 2025, kasus korupsi pegawai bumdes binangun cipta makmur di kulon progo yang menyebabkan kerugian negara Rp 1 miliar dengan memanipulasi keuangan (Dewantara, 2025). Ini salah satu bentuk jikalau pelaporan keuangan tidak sesuai standar akuntansi keuangan yang berlaku.
Banyak kasus korupsi bumdes yang terjadi akibat ketidakprofesionalan dalam pengelolaan bumdes. Hal ini berkemungkinan juga terjadi pada kopdes merah putih. Anggaran yang besar, serta kapasitas sdm yang mengisi belum tentu profesional.
Kemudian adanya tumpang tindih bentuk usaha yang dijalankan oleh koperasi dan bumdes. Salah satunya bumnag Nagari Bukik Batabuah melakukan fasilitas terhadap hasil bumi masyarakat. Masyarakat nagari bukik batabuah punya budidaya tanaman tebu dalam bentuk olahan saka tabu. Permasalahan adalah terkait permodalan dan pemasaran. Maka dari itu pemerintah nagari memfasilitasi petani tebu. Salah satu bentuk usaha koperasi desa adalah pemasaran hasil bumi anggota (Puspita, 2025). Melihat tumpang tindih bentuk usaha ini mengartikan urgensi pembentukan kopdes merah putih tidak diperlukan.
Melihat efektivitas implementasi permendes dalam lima tahun terakhir, belum melihat hasil yang diinginkan. Masih banyak desa di indonesia belum mendirikan bumdes, kalaupun ada belum mampu menjadi harapan. Perubahan belum signifikan karena bumdes gagal mensejahterakan masyarakat.
Permasalahan terkait bumdes terletak sumber daya manusia tidak kompeten, pengetahuan laporan keuangan yang minim, dan eksistensi bumnag yang masih banyak belum diketahui oleh masyarakat. Kemudian, masih banyak usaha yang dibuat oleh bumnag tidak sesuai dengan potensi daerah. Contoh kasus usaha bumnag kapa mitra di Kab. Pasaman Barat pengelolaan dan pemasaran jahe merah. Sedangkan usaha perekonomian masyarakat adalah jagung dan kelapa sawit. Sehingga tidak menjawab kebutuhan ekonomi masyarakat mayoritas.
Modal yang digelontorkan pemerintah untuk bumnag sangat besar. Tetapi belum melihat hasil keuntungan dari modal tersebut. Kemudian kita dapat menilai program bumdes hanya menghamburkan uang negara. Ditambah lagi proyek populis kopdes merah putih yang menggelontorkan satu unit pembentukan kopdes merah Rp 3-5 miliar.
Secara konsep pembentukan kopdes merah putih sangat bersifat sentralistik atau top down. Walaupun pemerintah berdalih walaupun ide dari atas, tetapi pembentukan pengurus tetap musyawarah. Pernyataan tersebut belum menjamin intervensi pemerintah terhadap keputusan musyawarah tidak terjadi.
Melihat konsep koperasi yang dibentuk oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta Adalah hasil pengamatan terhadap kondisi ekonomi masyarakat zaman penjajahan. Hatta menyebut gagasannya ekonomi kerakyatan. Bentuk ekonomi kerakyatan yang digagas hatta adalah koperasi. Koperasi adalah bentuk usaha bersama rakyat untuk mencapai tujuan bersama. Namun, program kopdes merah putih menghilangkan konsep dalam koperasi. Jiwa dan semangat koperasi, seharusnya koperasi dibentuk melalui konsolidasi masyarakat terhadap permasalahan yang dihadapi. Masyarakat sekarang disodok dengan dana yang besar tetapi bingung untuk mengerjakannya.
Peluncuran kopdes merah putih akan dilaksanakan 12 juli 2025. Kondisi kopdes merah putih diasumsikan akan sama dengan kondisi bumdes/bumnag yang ada di desa. Sumber daya manusia tidak kompeten, pelaporan keuangan yang tidak jelas membuka ruang korupsi terhadap uang rakyat makin melebar.
Kebijakan populisme Presiden adalah bentuk memakai logika simplistis dalam kebijakan. Presiden terlalu menyederhanakan persoalan ekonomi masyarakat desa tanpa evaluasi terlebih dahulu bumdes/bumnag yang ada di desa. Populisme dimaknai sebagai retorika politik, yang menganggap keutamaan dan keabsahan politik terhadap rakyat (Annisah dalam Habbodin, 2019). Sehingga apapun kebijakan adalah atas nama rakyat, tetapi sebenarnya itu adalah cara mempertahankan kekuasaannya.
Kebijakan populisme ini tidak hanya kopdes merah putih, sebelumnya presiden juga melakukan kebijakan populis, yaitu makan bergizi gratis. Tujuan kebijakan populis adalah mempertahankan kekuasaan politiknya. Memang tujuan politik populisme adalah merebut hati rakyat. Tetapi tidak menyelesaikan persoalan yang ada. Kebijakan populis mengasumsikan rakyat pasif terhadap kebijakan yang dibuat. Mereka seakan-akan memposisikan diri kepada rakyat. Padahal itu hanya menguntungkan kekuasaannya saja.
Kopdes merah putih akan menjadi beban anggaran negara. Demi kepentingan politik populisme, rakyat dijadikan objek kebijakan. Kopdes merah putih diasumsikan sebagai mitra kerja bumdes/bumnag. Tetapi pada kenyataannya bentuk usaha hampir sama. Sehingga kebijakan ini hanya menghamburkan uang rakyat.
Dari kritikan di atas perlu evaluasi terhadap kopdes merah putih. Pembentukan yang tergesa-gesa dan masih banyak bumdes di daerah yang belum berjalan dengan baik, kasus korupsi, sumber daya manusia tidak kompeten, dan gagalnya pengurus bumdes menangkap potensi ekonomi masyarakat. Dengan adanya dua lembaga ekonomi yang secara tujuannya hampir sama, menjadikan lembaga ini beban anggaran yang tidak produktif. Seharusnya Presiden mengoptimalkan peran bumdes dengan evaluasi sistem, pengelolaan, pelatihan sumber daya manusia. Bukan menciptakan program baru yang hampir sama fungsinya. Jadi publik beranggapan presiden hanya ingin meninggalkan legacy/warisan selama dia memimpin. Bukan berorientasi pada perbaikan nasib rakyat Indonesia.