Demonstrasi Mahasiswa: Antara Euforia Perlawanan atau Kesadaran Perubahan
Pengalaman pertama saya memasuki dunia perkuliahan dan mengenakan almamater universitas adalah sesuatu yang sangat berharga, tetapi pada masa itu juga saya sering mendengar tentang bagaimana kami para mahasiswa adalah seorang agen perubahan. Ungkapan ini sangat melekat di benak saya karena hampir selalu digaungkan kepada para mahasiswa baru dan dikaitkan dengan perjalanan panjang perjuangan mahasiswa untuk negara Indonesia yang tercinta. Dalam berbagai versi cerita senior, forum diskusi, ataupun saat sesi perkenalan kampus, selalu ada penggambaran bahwa mahasiswa adalah pahlawan perlawanan, barisan paling depan untuk perubahan, dan penyalur aspirasi suara rakyat yang sering diabaikan. Bentuk nyata dari peran itu adalah melalui demontrasi. Sebuah aksi dimana kita turun ke jalanan untuk menuntut hak sebagai warga negara terhadap ketidakadilan yang dilakukan oleh pemerintah. Namun , seiring berjalannya waktu saya malah mempertanyakan: apakah demontrasi masih menjadi media untuk memperjuangkan hak dengan adanya pemahaman dalam masalah yang diprotes atau sudah mulai kehilangan arah dan malah berubah menjadi suatu acara perkumpulan untuk seru-seruan tanpa mengerti terhadap apa yang mereka perjuangkan.
Tahun 1998 Mahasiswa menunjukkan bahwa mereka punya peran yang besar dalam sejarah perubahan bangsa Indonesia. Dimana pada saat itu kondisi perekonomian Indonesia sedang hancur-hancurnya karena krisis moneter, inflasi serta pemerintah yang otoriter. Semua aspek itu mendorong mahasiswa untuk berjuang bersama demi menjatuhkan rezim Soeharto melalui demontrasi besar-besaran yang disertai dengan aksi menduduki Gedung DPR/MPR, dimana semua aksi itu bukan semata kemarahan maupun kekecewaan terhadap pemerintah, tetapi juga bentuk penyaluran aspirasi dari masyarakat yang menginginkan kebebasan dalam kehidupan bernegara, dihapusnya sistem KKN(korupsi, kolusi dan nepotisme) serta adanya pembatasan terhadap jabatan presiden supaya menghindari pemerintahan yang otoriter. Aksi turun ke jalanan yang dilakukan mahasiswa pada saat itu mampu membuat rezim soeharto lengser, lalu sistem dan hukum tata negara yang benar-benar terombak total, yang ditandai dengan peralihan dari masa Orde Baru ke masa Reformasi.Namun, melihat realita yang terjadi saat ini, saya merasa adanya pergeseran terhadap makna dalam kegiatan perjuangan melalui demontrasi. Terutama di era modern saat ini dimana mudahnya akses akan informasi yang ada bukannya semakin memantapkan pemahaman mahasiswa mengenai fenomena yang terjadi, tetapi malah menjadi suatu ajang untuk tampil keren tanpa mempedulikan kondisi yang sedang disuarakan. Hal ini melahirkan situasi dimana tidak jarang para mahasiswa tidak tau siapa yang menjadi target tuntutannya, apa yang sedang aspirasikan,sehingga aksi-aksi kekerasan, perusakan fasilitas, dan kericuhan sering terjadi.
Fenomena ini tentu sangat mengkhawatirkan, karena demontrasi yang dilaksanakan tanpa dasar pemahaman yang jelas beresiko untuk berubah menjadi sebuah kegiatan tanpa subtansi dengan kemungkinan berujung pada aksi destruktif yang malah merugikan masyarakat umum. Padahal, kalau kita kaji dari sisi hukum, demontrasi merupakan hak konstitusional yang dijamin oleh negara. Hal ini terdapat pada Undang-Undang No 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum , hal ini dengan sangat jelas memberikan kita hak untuk menyuarakan pendapat secara lisan, tulisan ataupun dalam bentuk aksi massa yang dilakukan secara damai dan tidak menganggu Ketertiban umum, sehingga jaminan hukum bisa didapatkan oleh seluruh lapisan masyarakat untuk menyuarakan ketidakadilannya.
Oleh karena itu bagi saya, demontrasi tidak bisa dilepaskan dari proses berpikir intelektual, karena secara sederhananya ini bukan tentang aksi turun ke jalanan dan berkoar-koar tentang masalah yang ada, tetapi lebih kepada pengembangan perspektif dari mahasiswa untuk menilai keadaan lalu mengambil langkah nyata melalui aksi untuk menyuarakan keadilan, sehingga diperlukan proses pengkajian kasus, literasi terhadap permasalahan yang terjadi, berdiskusi dalam forum bersama, dan membangun narasi yang punya dasar pemahaman yang jelas sesuai dengan apa yang ingin diperjuangkan. Semua hal itu dibutuhkan supaya proses demontrasi tetap terarah serta memiliki makna.
Selain itu saya menekankan untuk bisa memahami permasalahan juga bukan tanpa alasan, semua itu ditujukan agar kita mahasiswa tidak bertumpu pada demontrasi saja sebagai media untuk berpendapat tetapi bisa mencari alternatif lain untuk menyuarakan keadilan seperti menulis opini, essay, membuat video yang memuat pandangan akan kondisi yang ada, lalu berkampanye secara aktif di media sosial, sehingga nantinya mahasiswa sebagai agen perubahan serta pribadi intelektual tetap bisa bersuara meskipun akses untuk berpendapat nantinya dibatasi ataupun terbatas.
Pada akhirnya, demontrasi akan menyisakan sebuah cerita tentang bagaimana pemahaman dan aksi ikut-ikutan menjadi satu dalam kegiatan untuk menyuarakan keadilan, tetapi saya ingin menegaskan bahwa fondasi intelektual dan pengetahuan dalam aksi demo adalah sebuah panduan untuk berpendapat dalam ruang demokrasi tanpa adanya pembungkaman namun hanya ada kesadaran dari mahasiswa untuk menjadikan demontrasi sebagai alat perjuangan yang punya makna dan tujuan yang jelas, bukan sebuah gema kosong dari simbol yang mulai kehilangan arah.
Oleh: Muhammad Arman Malik
Mahasiswa Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,Universitas Andalas