Retaknya Prinsip Negara Hukum dalam Pengesahan RUU TNI
Oleh : Riby Sianggian Nauli, Mahasiswa Universitas Andalas
Baru – baru ini perhatian publik kembali tertuju pada lembaga legislatif yang sedang melakukan pengesahan terhadap revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. RUU TNI yang tengah dibahas itu memantik kontroversi karena dianggap membuka ruang lebar bagi militer untuk kembali masuk ke dalam lingkungan sipil, sesuatu yang seharusnya sudah ditinggalkan sejak runtuhnya Orde Baru. Di tengah janji reformasi yang belum selesai, upaya revisi ini seperti langkah mundur yang berpotensi merusak tatanan sistem hukum Indonesia, terutama dalam menjaga prinsip negara hukum.
Sudah lebih dari dua puluh tahun sejak Indonesia masuk ke era Reformasi, tapi sampai sekarang tantangan untuk menjaga demokrasi masih terus ada. Harapan akan negara yang bebas dari kekuasaan otoriter, yang menjunjung hak asasi manusia, dan memberi ruang bagi masyarakat sipil untuk aktif, kini perlahan mulai diuji kembali. Salah satu tanda yang terasa kuat adalah munculnya revisi Undang-Undang tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang berakhir telah disahkan beberapa waktu lalu.
Masyarakat kini semakin aktif menyuarakan pendapat dan ikut mengawasi jalannya pemerintahan. Tapi justru di tengah semangat kebebasan bersuara itu, muncul kebijakan yang bisa membuka jalan kembalinya militer ke dalam kehidupan sipil. Revisi UU TNI ini menjadi contoh nyata bagaimana peran militer bisa semakin meluas ke luar fungsi utamanya di bidang pertahanan dan keamanan negara. Padahal, kehidupan sipil seharusnya berada di luar jangkauan langsung kekuasaan militer.
Situasi ini menunjukkan bahwa politik Indonesia sedang berada dalam titik rawan. Di atas kertas, konstitusi kita sudah jelas membatasi peran militer dan menjamin hak-hak rakyat sipil. Tapi di kenyataannya, ruang untuk militer ikut campur dalam urusan pemerintahan dan masyarakat makin terbuka. Pertanyaannya, apakah ini memang bentuk penyesuaian terhadap kondisi zaman, atau justru cara halus untuk memperkuat kekuasaan dengan menggunakan aturan hukum?
RUU ini menuai kritik tajam karena di dalamnya termuat beberapa pasal yang secara terang – terangan memperluas wewenang militer di luar fungsi pertahanan negara. Perluasan ini sangat problematik karena tidak hanya melampaui mandat konstitusional TNI, tetapi juga berpotensi mengacaukan struktur pembagian kekuasaan antara militer dan sipil yang selama ini menjadi rujukan dalam sistem demokrasi.
Bagi generasi muda yang tumbuh pasca-reformasi, mungkin konsep “Dwifungsi ABRI” terdengar seperti cerita masa lalu. Tapi mereka yang hidup di masa Orde Baru tentu masih ingat bagaimana militer bukan hanya mengurusi pertahanan negara, tapi juga hadir dalam jabatan sipil, ikut campur dalam pemerintahan, dan bahkan menjadi penentu arah kebijakan politik nasional. Situasi tersebut menciptakan ketimpangan kekuasaan yang besar, di mana masyarakat sipil sulit bersuara karena kekuasaan berada di tangan kekuatan bersenjata. Inilah situasi yang ingin dihindari oleh reformasi tahun 1998.
Sayangnya, revisi UU TNI justru menunjukkan adanya sinyal bahwa kekuasaan militer kembali dipertimbangkan untuk dilibatkan secara aktif dalam urusan domestik. Beberapa poin dalam draf RUU tersebut sangat mengkhawatirkan, terutama karena memberikan TNI kewenangan untuk mengatasi apa yang disebut sebagai “ancaman nonmiliter” istilah yang sangat luas dan bisa dimaknai secara fleksibel. Apakah ini berarti militer dapat dilibatkan dalam menangani demonstrasi? Menindak penyebaran informasi yang dianggap meresahkan? Atau bahkan mengintervensi urusan-urusan sosial yang selama ini menjadi ranah lembaga sipil? Tanpa definisi yang tegas dan kontrol yang kuat, celah ini bisa berbahaya.
Konstitusi Indonesia dalam Pasal 30 ayat (3) secara tegas menyatakan bahwa TNI merupakan alat negara di bidang pertahanan. Ini sebenarnya adalah batas konstitusional yang jelas: militer tidak boleh melibatkan diri dalam urusan yang berada di luar ranah pertahanan, kecuali dalam keadaan darurat dan dengan pengawasan ketat dari otoritas sipil. Penanganan ancaman nonmiliter sesungguhnya berada dalam wilayah lembaga-lembaga sipil, seperti Kepolisian Republik Indonesia, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, dan instansi terkait lainnya. Maka, ketika militer diberi ruang untuk turut campur tangan dalam ranah tersebut tanpa mekanisme pengawasan yang ketat, maka ini bukan hanya bentuk tumpang tindih kewenangan, tapi juga sudah masuk ek dalam pelanggaran terhadap prinsip saling mengawasi yang seharusnya jadi pilar utama negara hukum.
Yang lebih mengkhawatirkan, RUU ini juga membuka kemungkinan bagi prajurit aktif TNI untuk menduduki jabatan sipil tanpa melalui mekanisme pensiun atau pelepasan status kemiliterannya. Ketentuan ini secara langsung bertentangan dengan semangat reformasi militer yang sejak awal bertujuan untuk memisahkan secara tegas peran sipil dan militer. Pada era Orde Baru, kita pernah hidup di bawah bayang-bayang Dwifungsi ABRI, di mana militer tidak hanya menjaga pertahanan, tetapi juga masuk ke dalam birokrasi, politik, bahkan ekonomi. Akibatnya, terjadi sentralisasi kekuasaan dan militerisme yang mengebiri kehidupan sipil dan membungkam kritik. Revisi UU TNI yang sekarang tengah digodok seolah membuka kembali pintu yang dulu telah ditutup dengan penuh perjuangan oleh gerakan reformasi.
Selain itu, masyarakat juga dibuat khawatir dengan wacana pelibatan prajurit aktif TNI dalam jabatan sipil. Ini bukan hanya bertentangan dengan semangat pemisahan peran sipil-militer yang sudah diperjuangkan selama bertahun-tahun, tapi juga berpotensi melahirkan konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang. Kita tentu tidak ingin melihat militer terlibat dalam urusan birokrasi sipil tanpa pengawasan publik dan akuntabilitas yang jelas.
Dalam konteks sistem hukum Indonesia, persoalan ini bukan sekadar masalah kewenangan institusional, melainkan tentang bagaimana hukum digunakan. Apakah hukum akan tetap menjadi alat untuk menegakkan keadilan dan melindungi warga negara dari kesewenang-wenangan kekuasaan? Atau sebaliknya, hukum akan menjadi instrumen legitimasi politik untuk memperkuat otoritas lembaga tertentu, dalam hal ini militer? Jika kita menerima perluasan peran militer dalam kehidupan sipil tanpa batasan yang jelas, maka kita sedang menciptakan sistem hukum yang diskriminatif dan penuh ancaman terhadap hak-hak sipil.
Reformasi sektor keamanan dan supremasi sipil merupakan dua prinsip yang telah ditegaskan dalam berbagai dokumen hukum dan kebijakan negara. Misalnya, dalam TAP MPR No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri, serta TAP MPR No. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri. Keduanya merupakan dasar hukum yang menekankan pentingnya militer kembali ke barak dan fokus pada fungsi pertahanan, sementara urusan keamanan dalam negeri sepenuhnya menjadi tugas kepolisian. Jika sekarang peran militer kembali diperluas dengan dalih menghadapi ancaman nonmiliter, maka ini adalah bentuk tidak konsistennya komitmen reformasi hukum yang telah dibangun lebih dari dua dekade.
Persoalan yang muncul dari RUU TNI juga menyangkut aspek partisipasi publik dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Pasal 96 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dengan tegas menyatakan bahwa masyarakat memiliki hak untuk memberikan masukan dalam setiap tahapan legislasi. Namun dalam praktiknya, pembahasan RUU TNI berjalan secara tertutup dan diam - diam, minim pelibatan akademisi, masyarakat sipil, dan pakar hukum. Ini semakin memperjelas bahwa proses legislasi kita masih tertutup dan dikuasai segelintir elit, padahal seharusnya demokratis dan melibatkan suara publik. Maka, sangat wajar jika muncul tudingan bahwa proses hukum kita hanya menjadi alat kekuasaan yang diselubungi oleh hal – hal formalitas semata.
Hal ini menjadi semakin mengkhawatirkan ketika melihat tren global tentang kemunduran demokrasi, di mana banyak negara demokratis mulai melonggarkan kontrol terhadap aparat keamanan dan cenderung menguatkan otoritarianisme dengan wajah baru. Indonesia tidak kebal terhadap tren ini. Jika ruang sipil terus dikontrol oleh aparat bersenjata melalui peraturan yang memungkinkan keterlibatan militer dalam sektor-sektor sipil, maka indeks ini berpotensi turun dan demokrasi kita akan mengalami kemunduran yang semakin jauh dalam konteks demokrasi.
Bukan hanya penolakan dari masyrakat, sebelum UU TNI ini disahkan, bahkan Komnas HAM telah menyuarakan kekhawatiran mereka terhadap draf RUU ini. Ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro, menilai bahwa perluasan peran militer dalam urusan sipil berpotensi mengancam kebebasan warga dan meningkatkan potensi pelanggaran HAM. Sejarah mencatat banyak kasus kekerasan yang melibatkan TNI, khususnya di daerah konflik seperti Papua dan Aceh di masa lalu. Bila militer kembali diberi legitimasi hukum untuk bertindak di luar fungsi pertahanan, tanpa kontrol yudisial dan sipil yang memadai, maka masyarakat sipil kembali menjadi pihak yang rentan terhadap kekerasan struktural.
Apa yang ditunjukkan oleh RUU ini bukan hanya persoalan lemahnya regulasi dan sistem hukum, melainkan soal arah ideologis dari pembentukan hukum itu sendiri. Hukum seharusnya tidak dibuat untuk menakut-nakuti, mengontrol, atau memperluas dominasi satu kekuatan tertentu. Hukum harus dibangun berdasarkan nilai-nilai demokrasi, keadilan sosial, dan penghormatan terhadap martabat manusia. RUU TNI, dalam bentuknya yang sekarang, justru menggambarkan hukum sebagai arena perebutan kuasa, bukan sebagai arena pembebasan.
Sebagai masyarakat yang tinggal di wilayah hukum, kita harus mampu berpikir kritis sebab memiliki tanggung jawab moral untuk mempertanyakan dan mengawasi proses legislasi seperti ini. Kita tidak boleh diam melihat hukum dijadikan kendaraan untuk memutar balik arah demokrasi. Kita tidak boleh pasrah ketika konstitusi diterjemahkan secara sepihak demi kepentingan institusional tertentu. Dan kita tidak boleh membiarkan negara hukum hanya hidup dalam teks, sementara dalam praktiknya, yang berkuasa adalah siapa yang memegang senjata dan menentukan tafsir atas hukum itu sendiri.
RUU TNI harus menjadi bahan refleksi bagi anak – anak bangsa ini. Kita harus bertanya dengan jujur: apakah kita masih berada di jalur reformasi, atau justru sedang tersesat dalam jalan pintas kekuasaan? Jika hukum gagal menjaga jarak antara sipil dan militer, maka jangan salahkan siapa pun ketika kelak ruang demokrasi kita menyempit, dan hukum tak lagi menjadi pelindung rakyat, melainkan tameng kekuasaan.
Dalam keadaan seperti ini, mahasiswa dan kalangan intelektual sebaiknya tidak berdiam diri. Kita harus benar-benar memperhatikan isu ini karena berkaitan dengan masa depan demokrasi dan negara hukum yang sedang kita bangun. Peran mahasiswa sebagai agen perubahan bukan hanya slogan, tapi benar-benar penting saat ini, di mana kekuasaan mulai berjalan tanpa pengawasan. Revisi Undang – undang TNI juga menentukan arah Indonesia ke depan: apakah kita akan jadi negara demokratis yang menghargai hak-hak rakyat, atau kembali seperti orde baru, menjadi negara yang dikendalikan senjata.