Silek Pendeka Soman
Oleh : Suci Ramadhani, Mahasiswi Universitas Andalas
Nagari Balai Tangah, yang terletak di Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, dikenal luas tidak hanya karena keindahan alamnya, tetapi juga karena keberadaan seni bela diri tradisional yang telah ada sejak zaman dahulu. Salah satu seni bela diri yang sangat dihormati dan terus dilestarikan oleh masyarakat setempat adalah Silek Tuo, yang merupakan bagian dari warisan budaya Minangkabau yang kaya akan filosofi hidup, seni, dan ketahanan fisik yang sangat tinggi. Di nagari ini, salah satu aliran silek yang dikenal luas adalah Silek Pandeka Soman.
Silek Pandeka Soman, yang berasal dari Nagari Balai Tangah, Lintau Buo Utara, memiliki sejarah dan asal-usul yang sangat menarik. Menurut cerita yang berkembang di masyarakat setempat, silek ini berawal dari kisah seorang penggembala kerbau bernama Soman. Diceritakan bahwa Soman hidup dalam keadaan miskin dan tinggal bersama mamaknya (saudara laki-laki ibu) dalam suasana kehidupan yang penuh perjuangan. Dalam budaya Minangkabau, khususnya di Balai Tangah, berlaku sistem matrilineal, di mana seorang keponakan, terutama laki-laki, harus patuh terhadap mamaknya, sesuai dengan pepatah Minangkabau yang mengatakan "Anak dipangku, kamanakan dibimbing." Pepatah ini mengandung makna bahwa seorang lelaki Minangkabau memiliki tanggung jawab yang besar terhadap anak saudara perempuannya (kemenakan) dibandingkan dengan anak kandungnya sendiri. Hal ini mencerminkan pentingnya nilai kekeluargaan dan tanggung jawab dalam sistem sosial masyarakat Minangkabau.
Pada suatu hari, saat Soman sedang mengembala kerbau milik mamaknya, ia merasa sangat kelelahan. Ketika beristirahat di sebuah dangau (rumah kecil di tengah sawah), ia ditemui oleh seseorang yang tidak dikenal. Orang tersebut menyapa Soman dan menanyakan penyebab kelelahan yang dialaminya. Setelah mendengar cerita Soman yang belum diberi makan oleh mamaknya sebelum berangkat mengembala, orang itu menyarankan agar Soman melanjutkan istirahatnya. Ketika Soman terbangun, ia terkejut karena dangau tempatnya beristirahat telah hancur. Yang lebih aneh lagi, orang yang menemuinya tadi sudah menghilang tanpa jejak. Dari pertemuan misterius inilah, Soman mendapat ilmu silat yang sangat luar biasa.
Setelah pertemuan tersebut, Soman terus mengasah ilmu silat yang ia dapatkan. Ia berlatih setiap hari, memperdalam jurus-jurus yang diajarkan oleh sosok misterius tersebut. Sejak saat itu, Soman dikenal dengan julukan Pandeka Soman, yang berarti pendekar atau ahli silat Soman. Dalam masyarakat setempat, Pandeka Soman dianggap sebagai sosok yang memiliki ilmu silat yang sangat tinggi dan tidak hanya mengandalkan fisik, tetapi juga kebijaksanaan dan filosofi hidup yang dalam.
Keunikan dari Silek Pandeka Soman terletak pada kenyataan bahwa aliran silek ini tidak memiliki guru formal dalam pengertian tradisional. Ilmu silat ini diturunkan langsung dari Tuhan melalui perantara sosok misterius yang bertemu dengan Soman. Dengan demikian, silek Pandeka Soman bisa disebut sebagai silek tuo (silek yang tua atau asli), bukan karena usia yang panjang, tetapi karena keaslian dan keberadaannya yang langsung berasal dari wahyu atau petunjuk Tuhan.
Meskipun silek Pandeka Soman tidak memiliki guru yang dapat secara langsung mengajarkan teknik-teknik silat, aliran ini memiliki sistem pewarisan yang sangat unik. Generasi penerus atau guru selanjutnya tidak dipilih berdasarkan fisik atau pengetahuan semata, melainkan melalui petunjuk hati seorang guru. Setiap generasi pemegang ilmu ini dipilih berdasarkan kecocokan dan kesesuaian dengan filosofi serta nilai-nilai yang terkandung dalam silek tersebut. Ini menjadikan pemilihan guru dalam silek Pandeka Soman sangat spiritual dan berhubungan erat dengan kebijaksanaan batin.
Filosofi yang terkandung dalam Silek Pandeka Soman sangat erat kaitannya dengan prinsip hidup yang mengajarkan tentang kedamaian dan keharmonisan. Salah satu filosofi penting dalam silek ini adalah pepatah "Samuik tapijak tak mati, alua tataruang patah tigo" yang berarti, “Tidak pernah mencari lawan, kalau dapat lawan maka dihindarkan, akan tetapi kalau tidak bisa menghindar baru dilawan.” Pepatah ini menggambarkan bahwa pendekar Pandeka Soman tidak pernah mencari pertempuran atau perselisihan, tetapi jika terpaksa berhadapan dengan musuh, ia akan bertindak dengan bijak. Prinsip ini mengajarkan tentang kehati-hatian dan rasa hormat terhadap kehidupan, serta tidak merusak makhluk hidup ciptaan Tuhan. Filosofi ini sangat mendalam dan mencerminkan bagaimana silek Pandeka Soman tidak hanya mengutamakan kekuatan fisik, tetapi juga mengajarkan tentang nilai-nilai kemanusiaan, kedamaian, dan tanggung jawab.
Selain filosofi tersebut, ada syarat-syarat khusus yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk menjadi murid dalam silek Pandeka Soman. Syarat-syarat tersebut meliputi pemberian pisau, beras, uang, dan yang terpenting adalah restu orang tua. Pisau yang diberikan tidak hanya sebagai simbol, tetapi juga memiliki makna yang sangat dalam. Meskipun pisau tersebut sangat tajam, ia akan semakin tumpul seiring dengan peningkatan kemampuan murid dalam silek. Hal ini menggambarkan bahwa semakin tinggi ilmu yang dimiliki, semakin besar pula tanggung jawab yang harus dipikul, dan segala sesuatu yang tajam atau berbahaya harus digunakan dengan bijak dan penuh kehati-hatian.
Hingga saat ini, Silek Pandeka Soman telah memiliki empat generasi yang meneruskan ilmu ini, yaitu:
1. Pandeka Soman
2. Mak Udin
3. Mak Jaluk
4. Taswin (Mak Win)
Generasi saat ini masih dipimpin oleh Taswin (Mak Win), yang terus menjaga dan melestarikan ilmu silek ini dengan penuh dedikasi. Meskipun silek Pandeka Soman tidak memiliki guru yang mengajarkan secara formal, keberlanjutan dan kelestarian ilmu ini tetap terjaga berkat komitmen generasi penerus yang terus menjaga nilai-nilai dan filosofi dari silek ini.
Silek Pandeka Soman adalah warisan budaya yang sangat berharga bagi masyarakat Minangkabau, khususnya di Nagari Balai Tangah. Silek ini tidak hanya sebagai seni bela diri, tetapi juga mengandung filosofi hidup yang mendalam. Dengan nilai-nilai seperti kedamaian, kebijaksanaan, dan tanggung jawab, silek Pandeka Soman mengajarkan kepada kita bahwa kekuatan sejati tidak terletak pada fisik semata, tetapi pada kebijaksanaan hati dan rasa hormat terhadap kehidupan. Sebagai bagian dari budaya Minangkabau, silek ini juga mencerminkan kekayaan tradisi yang patut dilestarikan dan dihargai oleh generasi mendatang.