Tradisi Manjapuik Marapulai dalam Adat Minang
Masyarakat Minangkabau, yang bermukim di wilayah Sumatera Barat, dikenal dengan kekayaan tradisi dan adat istiadatnya yang unik. Salah satu tradisi yang menjadi ciri khas dalam perkawinan adat Minangkabau adalah "Manjapuik Marapulai" atau menjemput pengantin pria. Tradisi ini mencerminkan sistem matrilineal yang dianut oleh masyarakat Minangkabau, di mana garis keturunan diwariskan melalui pihak ibu.
Manjapuik Marapulai merupakan tahapan penting dalam rangkaian upacara perkawinan adat Minangkabau. Secara harfiah, "manjapuik" berarti menjemput dan "marapulai" berarti pengantin pria. Tradisi ini bermakna bahwa keluarga pengantin wanita (anak daro) secara resmi menjemput pengantin pria untuk dibawa ke rumah pengantin wanita dan melangsungkan kehidupan berumah tangga di sana.
Filosofi yang terkandung dalam tradisi manjapuik marapulai sangat dalam dan mencerminkan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Minangkabau. Pertama, tradisi ini menggambarkan kedudukan perempuan yang dihormati dan dihargai dalam adat Minangkabau. Kedua, manjapuik marapulai juga menyimbolkan penyambutan resmi pengantin pria ke dalam lingkungan keluarga besar pihak perempuan.
Dalam falsafah hidup orang Minang, tradisi ini juga mencerminkan pepatah "adat diisi limbago dituang" yang berarti adat harus diisi dan lembaga harus dituang. Artinya, segala prosesi adat harus dijalankan sesuai dengan aturan yang berlaku agar kehidupan bermasyarakat harmonis dan seimbang.
Tradisi manjapuik marapulai terdiri dari beberapa tahapan yang sarat dengan nilai-nilai budaya dan filosofis:
1. Maanta Siriah (Mengantar Sirih)
Sebelum prosesi manjapuik marapulai dilaksanakan, pihak keluarga perempuan terlebih dahulu mengirimkan utusan untuk "maanta siriah" atau mengantar sirih ke rumah pengantin pria. Sirih ini menjadi simbol penghormatan dan pemberitahuan bahwa keluarga perempuan akan datang menjemput pengantin pria. Dalam prosesi ini, utusan dari pihak perempuan membawa cerana atau wadah yang berisi daun sirih, pinang, gambir, dan kapur sebagai simbol kemuliaan dan penghormatan.
2. Bararak (Arak-arakan)
Pada hari yang telah disepakati, rombongan dari pihak pengantin wanita yang terdiri dari beberapa perempuan berhias cantik dengan pakaian adat, ninik mamak (pemuka adat), dan kerabat lainnya berangkat menuju rumah pengantin pria. Rombongan ini membawa berbagai benda adat seperti:
• Jamba (hidangan adat) yang terdiri dari nasi kuning, rendang, gulai ikan, sayur-sayuran, dan berbagai makanan tradisional Minang lainnya.
• Siriah langkap (sirih lengkap) yang menjadi simbol penghormatan tertinggi dalam adat Minangkabau.
• Pakaian adat untuk pengantin pria.
• Uang jemputan yang jumlahnya telah disepakati sebelumnya.
3. Pasambahan (Dialek Adat)
Ketika rombongan tiba di rumah pengantin pria, prosesi "pasambahan" atau dialog adat dimulai. Dialog ini berlangsung antara perwakilan dari kedua belah pihak menggunakan bahasa adat yang khas, berirama, dan sarat makna filosofis. Dalam pasambahan ini, pihak perempuan menyampaikan maksud kedatangan mereka untuk menjemput pengantin pria, sementara pihak laki-laki menanggapi dengan ungkapan yang juga penuh makna.
4. Penyerahan Uang Jemputan
Setelah pasambahan selesai, pihak pengantin wanita menyerahkan "uang jemputan" kepada keluarga pengantin pria. Uang jemputan ini jumlahnya bervariasi tergantung kesepakatan kedua keluarga dan status sosial pengantin pria. Bagi keluarga dengan status sosial tinggi atau pengantin pria yang memiliki pendidikan tinggi dan pekerjaan yang baik, uang jemputan biasanya lebih besar.
5. Maarak Marapulai (Mengiringi Pengantin Pria)
Setelah semua prosesi di rumah pengantin pria selesai, pengantin pria kemudian dihias dengan pakaian adat dan diarak menuju rumah pengantin wanita. Prosesi ini disebut "maarak marapulai". Arak-arakan ini diiringi dengan musik tradisional Minangkabau seperti talempong dan gandang tabuik yang menambah kemeriahan suasana. Dalam perjalanan, pengantin pria didampingi oleh mamak (paman dari pihak ibu) dan beberapa kerabat laki-laki.
6. Basandiang (Bersanding)
Sesampainya di rumah pengantin wanita, pengantin pria disambut dengan meriah. Kedua pengantin kemudian dipertemukan dan didudukkan di pelaminan atau "anjuang" untuk "basandiang" atau bersanding. Inilah puncak dari rangkaian upacara perkawinan adat Minangkabau, di mana kedua mempelai secara resmi dinyatakan sebagai suami istri di hadapan seluruh keluarga besar dan masyarakat.
Seperti halnya tradisi lain, manjapuik marapulai juga mengalami berbagai perubahan dan adaptasi di era modern. Beberapa perubahan yang terjadi antara lain:
1. Penyederhanaan Prosesi: Prosesi yang dulunya bisa berlangsung selama berhari-hari kini disederhanakan menjadi beberapa jam saja untuk menyesuaikan dengan gaya hidup modern yang semakin sibuk.
2. Modifikasi Uang Jemputan: Dulu uang jemputan harus dalam bentuk uang tunai dan nilainya cukup besar. Sekarang, uang jemputan bisa digantikan dengan barang berharga seperti emas, kendaraan, atau bahkan properti tergantung kesepakatan kedua keluarga.
3. Adaptasi Pakaian dan Perlengkapan: Meskipun esensi tradisi tetap dipertahankan, berbagai perlengkapan dan pakaian adat mengalami modifikasi dengan sentuhan modern namun tetap mempertahankan kekhasan Minangkabau.
4. Lokasi Pelaksanaan: Jika dulu prosesi ini selalu dilaksanakan di rumah gadang, kini banyak yang melaksanakannya di gedung pertemuan atau hotel untuk mengakomodasi jumlah tamu yang lebih banyak.
Meski mengalami berbagai perubahan, nilai-nilai inti dari tradisi manjapuik marapulai tetap dipertahankan. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Minangkabau berhasil menjaga keseimbangan antara mempertahankan warisan budaya dan beradaptasi dengan tuntutan zaman modern.
Tradisi manjapuik marapulai memiliki makna sosial dan budaya yang sangat penting bagi masyarakat Minangkabau:
1. Penguatan Ikatan Kekeluargaan: Tradisi ini memperkuat hubungan antara dua keluarga besar yang disatukan melalui perkawinan.
2. Pelestarian Sistem Matrilineal: Manjapuik marapulai merupakan implementasi dari sistem matrilineal di mana pengantin pria yang pindah ke rumah pengantin wanita, bukan sebaliknya.
3. Pembentukan Identitas Budaya: Bagi generasi muda Minangkabau, keterlibatan dalam tradisi ini menjadi sarana untuk mengenal dan memahami identitas budaya mereka.
4. Harmoni Sosial: Prosesi adat yang melibatkan banyak pihak ini menciptakan harmoni sosial dalam masyarakat dan memperkuat rasa kebersamaan.
Tradisi manjapuik marapulai bukan sekadar ritual perkawinan, tetapi merupakan manifestasi dari kearifan lokal masyarakat Minangkabau dalam membangun landasan kehidupan berumah tangga dan bermasyarakat. Melalui tradisi ini, nilai-nilai luhur seperti penghormatan kepada perempuan, musyawarah mufakat, dan kebersamaan terus diwariskan dari generasi ke generasi.
Di tengah arus globalisasi yang semakin kuat, tradisi manjapuik marapulai tetap bertahan sebagai salah satu kekayaan budaya Indonesia yang patut dilestarikan. Upaya pelestarian ini tidak hanya menjadi tanggung jawab masyarakat Minangkabau tetapi juga seluruh komponen bangsa agar warisan budaya yang adiluhung ini tidak hilang ditelan zaman.
Oleh Tri Hartati Ramadhani
Mahasiswa Jurusan Sastra Minangkabau, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas