Dibalik Spanduk dan Orasi: Membongkar Tegangan Antara Idealisme Moral dan Tuntutan Politik dalam Demontrasi Mahasiswa
Oleh : Suryani Sukma, Mahasiswa Universitas Andalas
Demonstrasi mahasiswa sering kali dipandang sebagai wujud idealisme kaum muda dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Di balik spanduk yang terbentang dan orasi yang menggema di jalanan, tersimpan dinamika yang lebih kompleks: pertarungan antara idealisme moral dan tuntutan politik. Fenomena ini bukanlah hal baru, melainkan sudah berulang kali terjadi dalam sejarah pergerakan mahasiswa di Indonesia. Idealisme moral mahasiswa berpijak pada semangat perubahan yang tulus. Mahasiswa menuntut keadilan sosial, demokrasi yang sehat, dan pemerintahan yang berpihak pada rakyat. Mereka tampil sebagai agen moral, membawa suara nurani publik yang sering kali terpinggirkan. Spanduk yang dibawa bukan sekadar kain dengan tulisan, melainkan simbol dari keberanian untuk melawan ketidakadilan. Orasi yang disuarakan bukan hanya teriakan kosong, tetapi representasi dari keresahan kolektif terhadap kebijakan yang dianggap menyimpang. Namun, realitas politik seringkali menghadirkan dilema. Dalam praktiknya, gerakan mahasiswa kerap bersentuhan dengan kepentingan politik yang sarat kompromi. Ada momen di mana gerakan murni mahasiswa ditarik ke dalam pusaran politik praktis, entah melalui dukungan partai, elite, atau pihak-pihak yang ingin memanfaatkan momentum. Inilah titik kritis yang menimbulkan tegangan: idealisme moral yang seharusnya menjadi kompas, berhadapan dengan tuntutan politik yang cenderung pragmatis.
Sebagai mahasiswa, kita harus jujur melihat kenyataan ini. Di satu sisi, tanpa strategi politik, suara mahasiswa sulit menembus ruang kekuasaan. Namun di sisi lain, terlalu larut dalam permainan politik justru akan mengikis legitimasi gerakan itu sendiri. Mahasiswa bisa kehilangan jati diri jika membiarkan idealismenya diperdagangkan untuk kepentingan sesaat. Itulah mengapa integritas dan konsistensi menjadi modal penting. Demonstrasi mahasiswa harus mampu membedakan antara strategi politik sebagai sarana, dan prinsip moral sebagai tujuan. Strategi boleh fleksibel, tetapi nilai dasar tidak boleh goyah. Jika tujuan utama adalah memperjuangkan rakyat, maka segala langkah yang diambil harus tetap berpijak pada kepentingan publik, bukan pada keuntungan kelompok tertentu. Di titik inilah mahasiswa diuji: apakah mampu menjaga kemurnian gerakan, atau justru ikut hanyut dalam arus pragmatisme. Pada akhirnya, di balik spanduk dan orasi, demonstrasi mahasiswa bukan hanya aksi simbolik, melainkan manifestasi dari keberanian moral. Tegangan antara idealisme dan politik memang tidak bisa dihindari, tetapi bisa dikelola dengan menegaskan bahwa idealisme adalah kompas, sementara politik hanyalah jalan untuk mencapainya. Jika mahasiswa mampu menjaga garis itu, maka gerakan mereka akan tetap relevan sebagai pengawal moral bangsa, bukan sekadar pion dalam permainan politik.